Jumat, 29 Maret 2013

ANALISIS FAKTUAL ANTARA PENDIDIKAN POLITIK DAN KEPENTINGAN POLITIK DISEKOLAH



ANALISIS FAKTUAL ANTARA PENDIDIKAN POLITIK
DENGAN KEPENTINGAN POLITIK DI SEKOLAH.

Membahas masalah Politik tidak terlepas dari bagaimana seseorang atau sekelompok orang mencari, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi (dalam berbagai sub sistem kehidupan). Dengan dengan demikan, bukanlah hal yang tabu bagi seluruh lapisan dan kelompok masyarakat untuk membicarakan dan mengemukakan ide dan pandangan politiknya karena hal itu berkaitan erat dengan nasibnya ke depan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Umum (Kepala daerah, legislative, maupun presiden) disinyalir tidak terlepas dari kurang/lemahnya sosialisasi dan pendidikan politik di masyarakat. Para elite politik maupun stakeholder yang terkait memberikan sosialisasi dan pendidikan politik hanya pada momen-momen tertentu. Itupun bukan merupakan program tersendiri, melainkan bagian dari program tertentu seperti persiapan menjelang pemilihan umum.
Pendidikan politik secara terprogram sudah dilakukan oleh pemerintah yakni dengan dimasukannya materi-materi pembelajaran politik dalam silabus pembelajaran. Ini merupakan salah satu langkah pemerintah dalam upaya menanamkan pemahaman dan kesadaran politik sejak dini kepada masyarakat. Memberikan pemahaman dan kesadaran politik kepada masyarakat sekolah dimana sebagian besar dari mereka merupakan pemilih pemula hendaknya dibarengi pula dengan pendidikan etika politik.
Dalam kaitannya dengan proses pemilu sebagai bagian dari pendidikan politik, maka etika politik mencoba menjawab pertanyaan apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik termasuk bagaimana cara mencapai tujuan tersebut (Franz Magnis Suseno).
Menurut Jimly Asshidiqie etika politik tidak hanya dibutuhkan tapi harus diaplikasikan dan ditegakkan dalam kehidupan berdemokrasi. Etika politik perlu diterapkan karena politik telah menjadi bahan pembicaraan semua kalangan masyarakat.
Pendidikan etika politik yang merupakan bagian dari pendidikan politik menjadi sangat penting untuk diberikan kepada siswa sebagai calon penentu arah kebijakan politik bangsa ini. Hal ini dapat berhasil apabila didukung oleh sumber daya manusia (tenaga pendidik) yang memilik etika dan moralitas politik yang benar-benar teruji. Dimana tenaga pendidik dalam hal ini mampu menempatkan diri sebagai agent of change dalam dunia pendidikan dengan mengesampingkan pandangan-pandangan dan faham politik yang dianutnya.
Sekolah merupakan lahan empuk bagi kepentingan politik tertentu dalam upaya mencari dukungan politik dan/atau mempertahankan kekuasaan bagi kelompok-kelompok tertentu yang tengah berkuasa. Menjadikan lembaga pendidikan sebagai wilayah yang bersih dari kepentingan politik bukan hal yang mudah setidaknya untuk saat ini. Kampanye yang diusung oleh para politisi senantiasa menempatkan masalah peningkatan mutu pendidikan sebagai bagian dari programnya. Hal ini sah-sah saja bahkan memang seharusnya demikian akan tetapi permasalahan menjadi lain apabila siswa digiring untuk mengikuti pandangan politik tertentu.
Pendidikan politik bagi siswa akan mendidik siswa menjadi kritis dan paham politik sehingga pada saatnya nanti akan memperkuat partisipasi publik dalam proses demokrasi. Akan tetapi dampak dari pendidikan politik ini adalah siswa akan “memaksakan kehendak” dan cenderung kritis terhadap berbagai kebijakan sekolah. Dampak inilah yang harus dipikirkan oleh semua pihak karena terkait dengan kondisi psikologis siswa yang belum stabil.

Masuknya Kepentingan Politik ke Sekolah
Judul di atas menggambarkan masuknya kepentingan-kepentingan politik tertentu ke dunia pendidikan. Kepentingan politik tertentu ke dunia pendidikan (sekolah) disadari atau tidak telah memberikan dampak yang tidak baik. Sebagai gambaran, Dikabupaten Cianjur sudah menjadi rahasia umum bagaimana rotasi dan mutasi pimpinan satuan pendidikan menjadi senjata yang cukup handal bagi elite politik yang tengah berkuasa. Seorang Kepala Sekolah yang baru meniabat beberapa bulan saja kemudian dimutasi karena disinyalir tidak sejalan dan sepaham dengan kehendak politiknya. Pada lingkungan struktural, rotasi dan mutasi sudah merupakan hal biasa dengan alasan yang klasik yakni optimalisasi kinerja dan penyegaran. Akan tetapi pada tingkat satuan pendidikan, hal ini jelas berdampak tidak baik bagi kelangsungan satuan pendidikan tersebut.
Kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi pada satuan pendidikan dituntut untuk menyusun rencana strategis baik tahunan maupun lima tahunan sebagai acuan dan pedoman dalam pengembangan satuan pendidikan yang dinaunginya. Bagaimana jadinya kalau baru beberapa bulan saja menjabat sudah dimutasi/rotasi. Rencana strategis yang telah disusun hanya akan menjadi seonggok kertas yang disimpan sebagai arsip sekolah karena pimpinan yang baru akan menyusun kembali rencana yang baru.
Disisi lain, kepala sekolah sebagai pimpinan satuan pendidikan akan berfikir dan berupaya bagaimana mempertahankan posisinya dengan mengikuti kehendak politik dari kelompok tertentu yang telah “berjasa” dalam menempatkannya pada posisi yang diidamkannya, termasuk membawa bawahannya untuk mengikuti kehendak politiknya. Kalau tidak demikian maka jangan harap akan bertahan lama disekolah tersebut dan jangan berharap pula bantuan pemerintah akan mengalir dengan lancar. Alhasil rencana yang telah dibuat akan kembali menjadi seonggok kertas yang disimpan sebagai arsip sekolah tanpa ada upaya yang optimal untuk merealisasikannya.
Dari paparan di atas tampak jelas bahwa masuknya kepentingan politik ke dunia pendidikan (sekolah) membawa dampak yang negative kepada semua pihak (Kepala Sekolah, Guru, Siswa). Kita hanya berharap bahwa elit politik yang tengah berkuasa maupun yang tengah mempersiapkan kekuasaannya tidak menjadikan lembaga pendidikan sebagai instrument dalam mencapai tujuan-tujuan dan kehendak politiknya. Dengan demikian secara tidak langsung, dengan pencegahan masuknya kepentingan politik ke dunia pendidikan, elit politik dan juga para pemangku kepentingan politik telah memberikan pendidikan politik yang baik kepada siswa sebagai calon penentu kebijakan politik di masa yang akan datang dan juga kepada pimpinan sekolah selaku lokomotif satuan pendidikan.

Sabtu, 23 Maret 2013

OPTIMALISASI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER SEBAGAI UPAYA MENCEGAH TAWURAN SISWA



OPTIMALISASI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER SEBAGAI SALAH SATU UPAYA
MENCEGAH TERJADINYA TAWURAN SISWA

Ditengah gencarnya program pendidikan berkarakter yang dicanangkan pemerintah melalui berbagai program sosialisasi maupun aplikasinya, rupanya belum mampu mencegah kebiasaan yang telah menjadi budaya pada sebagian peserta didik kita. Budaya tawuran sepertinya telah mengakar dan menjadi warisan turun temurun dari generasi ke generasi, tidak peduli sekolah negeri maupun swasta bahkan kini telah merembet ke dunia kampus yang konon sangat menjunjung tinggi tri darma perguruan tinggi.
Seluruh komponen masyarakat mulai mempertanyakan apakah ada yang salah dalam pola pendidikan di Indonesia, sehingga fenomena ini terus berlanjut tanpa menunjukkan angka penurunan dalam setiap tahunnya. Pantaskah sekolah disebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses terjadinya tawuran.
Tawuran sebagai bentuk penyimpangan perilaku harus dianalisa secara menyeluruh. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi anak (Hawari, 1997). Sehingga peran besar keluarga dituntut untuk memberikan contoh yang baik agar anak-anak tidak mencari perilaku menyimpang seperti tawuran pelajar.
Di sisi lain, peran sekolah sebagai pemegang tugas utama dalam memberikan pendidikan, hal itu terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Oleh karena itu, menurut  Durkheim (1925:68), sekolah mempunyai fungsi yang sangat penting dan sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Salah satu upaya yang ditawarkan dalam meminimalisir terjadinya tawuran antar pelajar salah satunya dengan optimalisasi kegiatan ekstrakurikuler.
Ekstrakurikuler menurut kamus besar bahasa Indonesia (2002:291) yaitu:”suatu kegiatan yang berada di luar program yang tertulis di dalam kurikulum seperti latihan kepemimpinan dan pembinaan siswa”. Kegiatan ekstrakurikuler sendiri dilaksanakan diluar jam pelajaran wajib. Kegiatan ini memberi keleluasaan waktu dan memberikan kebebasan pada siswa, terutama dalam menentukan jenis kegiatan yang sesuai dengan bakat serta minat mereka. Menurut Rusli Lutan (1986:72) ekstrakurikuler adalah:
Program ekstrakurikuler merupakan bagian internal dari proses belajar yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan anak didik. Antara kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler sesungguhnya tidak dapat dipisahkan, bahkan kegiatan ekstrakurikuler perpanjangan pelengkap atau penguat kegiatan intrakurikuler untuk menyalurkan bakat atau pendorong perkembangan potensi anak didik mencapai tarap maksimum.
Optimalisasi serta penambahan waktu kegiatan ekstrakurikuler di lingkungan sekolah dapat meminimalisir siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan diluar sekolah yang berpotensi menimbulkan konflik antar pelajar yang berujung pada tawuran.
Optimalisasi kegiatan ekstrakurikuler ini sudah barang tentu memerlukan kerjasama yang baik antara orang tua dengan pihak sekolah, karena bagaimanapun kegiatan diluar jam sekolah memerlukan biaya baik untuk si pembimbing maupun peserta kegiatan itu sendiri. Disisi lain, pembimbing sendiri harus mampu mengemas kegiatan ekstrakurikuler tersebut semenarik mungkin. Hal ini sudah barang tentu memerlukan strategi perencanaan dan pelaksanaan yang baik disamping target pencapaian yang jelas.
Ekstrakurikuler yang saat ini dilaksanakan di sekolah-sekolah lebih menekankan pada minat dan keinginan siswa. Alhasil peserta kegiatan ekstrakurikuler hanya diikuti oleh siswa memang mepunyai bakat dan ketertarikan terhadap bidang tersebut yang notabene umumnya mereka yang aktif saja.
Pembimbing ekstrakurikuler dengan bantuan guru-guru lain, hendaknya bersikap aktif dalam mengajak dan “memaksa” siswa untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler terutama kepada siswa yang cenderung berpotensi melakukan “penyimpangan”.
Lebih banyaknya waktu siswa dihabiskan disekolah, diharapkan akan mempersempit ruang gerak dan kegiatan-kegiatan siswa diluar sekolah. Ketika siswa bergerombol keluar dari gerbang sekolah dan bertemu dengan rombongan siswa dari sekolah lain, itulah cikal bakal terjadinya tawuran. Dengan optimalisasi kegiatan ekstrakurikuler, diharapkan potensi-potensi terjadinya tawuran dapat diminimalisir. Hal ini sudah barang tentu harus disertai dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai serta ditunjang oleh tenaga-tenaga pembimbing yang kompeten serta mempunyai dedikasi dan kepedulian tinggi terhadap kemajuan dunia pendidikan.